Jakarta, 2006
Bagitu banyak hal- hal yang kontradiksi di dunia ini. Bagitu banyak hal- hal yang inappropriate di dunia ini. Dan begitu banyak hal- hal yang saling bertentangan tapi tercerabut jadi satu. Menyatu dengan sebuah jembatan bernama moderenisasi dengan wujud manusia sebagai budak.
Hal ini dikatakan sebagai akulturasi dan asimilasi oleh sebagian orang. Atau yang lebih mudah dimengerti, hal ini dikatakan sebagai pencampuran kultur- kultur budaya serta kebiasaan. Tapi kalau bagiku, itu semua ngga lebih dari sekedar topeng- topeng kesombongan.
Ya, atau bisa juga hal ini disebabkan oleh rasa toleransi yang sok ditumbuhkan dalam diri kita semua sehingga banyak hal yang saling bertentangan bisa bertengger aman dalam diri kita.
Contoh nyata kudapatkan tepat di hadapanku. Dimana aku melihat beberapa tante- tante baru pulang nge-gym lagi ngobrol sama personal trainer berbody mantap alias berotot sambil ngebul ngga berenti dan minum bir. What a life, huh? Oke, biar kujelaskan kenapa hal ini kukatakan sebagai pertentangan yang tercerabut jadi satu.
Pertama, saya mau bertanya apa sih gunanya kita fitness? Apa sih gunanya kita olah raga? Apa sih gunanya tiap berapa minggu sekali kita menyempatkan diri ke gym? Mungkin untuk sebagian orang, ini bagian dari life style... Tapi pada kenyataan sebenarnya, olah raga itu untuk kesehatan kan?
Lalu yang kedua, saya yakin semua orang menyadari, mengerti, memahami dan tahu betul bahwa rokok dan bir ataupun minuman yang mengandung alkohol itu jauh sekali dari yang namanya tubuh sehat, kesehatan.
See? Got the point?
Hal seperti inilah yang saya maksudkan sebagai kontradiksi dalam diri atau yang lebih saya suka sebut sebagai pertentangan yang tercerabut jadi satu.
What i’m tryin’ to say, betapa uniknya fenomena yang terjadi dalm kehidupan. Kalau udah begini, saya jadi berpikir, kalo hal yang sangat bertentangan aja bisa jadi satu di dalam penampang otak kita, kenapa dalam tampak nyata kita selalu tidak bisa menerima perbedaan dan pertentangan?
..Sebegitu egoiskah makhluk- makhluk yang menamakan diri mereka manusia? Memanjakan diri dengan kebiasaan hedonis, hanya terus- terusan mencari kepuasan diri serta pembenaran diri tanpa pernah mau menyadarkan diri dengan keidealisan tiap manusia?
Saya jadi kembali berpikir, mungkin inilah yang menjadi inti permasalahn tiap perkara di setiap sudut muka bumi. Dan inilah inti dari ke-chaos-an. Hal ini juga membuktikan bahwa benar adanya kalau manusia itu adalah chaos addict. Karena pada kenyataannya, pola pikir mereka dan pola tindak merekalah yang menyebabkan muncul dan terjadinya chaos.
Perbincangan seru sedang terjadi dalam otakku yang membuat tanganku sibuk ngga karuan sampai- sampai meninggalkan capuccino ku yang masih setengah gelas jadi dingin dan anyep.
Well, mungkin wujud chaos sebenarnya bukanlah panas seperti apa yang selama ini kuyakini. Tapi dingin. Dingin karena manusia- manusia seakan stop berinteraksi dengan yang lain dan hanya berinteraksi dengan otak dan hatinya sendiri coba menangkan ego masing- masing yang menyebabkan terjadi gesekan- gesekan, sentuhan- sentuhan, singgungan- singgungan bahkan ledakan- ledakan besar yang kembali bikin manusia yang tadinya berwujud chaos addict jadi makhluk sok idealis yang sok berusaha memperbaiki dunia padahal ngga bisa apa- apa kecuali bikin dunia tambah gila dan hancur.
Stop... stop... aku memerintahkan otak dan tangan untuk berhenti sesaat. Lalu aku berhenti...
Jeda...
Sedetik, dua detik, aku kembali menyesap capuccino ku yang sekarang udah bener- bener dingin. Meneguknya sampai habis. Hoeks... perutku bergejolak seakan ingin menolak, sama seperti perasaan saat apa yang kita yakini terkalahkan oleh sesuatu yang sebenernya lebih baik, tapi kita tetap yakin bahwa keyakinan kitalah yang benar. Untuk sebagian orang, itu dinamakan keegoisan, sebagian lagi bilang itu natural, tapi kalau bagiku semua itu adalah kesombongan masa muda yang indah...
Dan saya jadi menyadari satu hal. Bahwa bagi sebagian orang, semua hal yang tadi saya paparkan di atas adalah sebuah kesombongan yang indah. Sisa- sisa gengsi yang kita pertahankan demi dongkrak harga diri dihadapan orang- orang lain yang tak akan pernah memandang apa yang tak punya tingkatan atau level, karena tiap orang dibesarkan dalam buaian indah permainan yang memperkenalkan tingkatan level untuk mencapai life goal atau game over... [rei]