Saturday, December 20, 2008

untitled (8)

Jakarta, 2006


palsu...
fake..
imitation...
kemunafikan...
pemakaian topeng- topeng di hadapan makhluk lain demi kepuasan pribadi. kedok- kedok digemborkan atas nama segala yang baik meski nyatanya hanya bualan.
begitu pula aku yang selalu mengenakan topeng berbau busuk menyengat penciumanku.
topeng berpaku yang selalu terasa perih menusukku.
topeng berhias senyum manis dan wangi semerbak harum di luar, topeng kepura- pura an yang selalu kukenakan tanpa pernah kutanggalkan.
"i'm just a fake plastic tree in a fake plastic world" (fake plastic tree- alanis morissete)
aku terkadang serasa bagai pohon plastik palsu di dunia plastik yang palsu (ironis. sudah plastik palsu pula), dimana semuanya penuh kepura- pura an.
aku bukan maksud menyalahkan fenomena penopengan insan dunia, hanya mencari sedikit pembelaan untuk diri pribadiku, bahwa bukan aku saja yang bertopeng.

kadang,
aku begitu takut,
maka aku merapatkan lagi topeng itu tambah rapat, tambah dekat samapai menempel, sangat sulit ditanggalkan.
sebegitu dekatnya kepalsuan denganku, sebegitu kuatnya kepura- pura an disekitarku.
bukankah jadi wajar aku menampilkan semua topeng sukacita ku di saat keadaan tidak membolehkanku menangis, menjerit, meraung dan bersedih.
dunia kan ngga akan pernah kompromi,
bumi kan akan tetep muter walau sesakit, senista, segila, seperih apapun hati kita.
salahkah diri ini gunakan topeng?
aku kan hanya ketakutan dibuang, ditendang, dihempas, ditinggalkan para penuntut yang memaksaku secara laten untuk terus gunakan topeng sukacita guna tunjukkan semua akan baik- baik saja meskipun dunia sebenarnya terputar terpelanting.

akupun lelah seperti ini.
aku luluh lantak.
terperosok di ujung jurang kemunafikan tanpa tangga naik 'tuk keluar.
tapi,
sekali lagi kubertanya,
apa dayaku ini?
kuhanya bisa diam di sudut ruang bising ini sambil tetap memakai topeng agar yang lain tak lihat aku teteskan air mata yang lancang keluar. [rei]

untitled (7)

Jakarta, 2006

kembali kuterkatung- katung lunglai,
tatap nanar ke depan tanpa ada kantuk sedikitpun.
pagi tak lagi malu- malu tampakkan diri,
coba cari eksistensi.
tubuh lelahku seakan berdemo,
tak setuju dengan mata yang tetap tak dapat terkelap lelap.
inginnya aku berlari- lari dalam dunia mimpi.
bertualang dari satu wahana ke wahana lain.
campurkan harapku dalam angan.

sialnya aku!

kantuk konyol itu tetap tak sergap diri.
sepinya malamku hantarku pada sepinya pagiku
hantarkanku lemah karena tak kuasa berikan cuti mata.

konyolnya aku!

tak lagi mampu berpikir
teler dan tak sadar.
tetap minta kantuk datang hampiri diri
dan buatku bisa sekejap terlelap. [rei]

untitled (6)

Jakarta, 2006

aku tak pernah bisa memastikan sebenarnya apa yang terjadi dalam hatiku karena semua hal yang tercerabut acak dalam hati kosongku seolah absurd.
tanpa ada sekalipun pembenaran dan bahkan kesalahan karena entah mengapa, hatiku seolah terlalu bodoh untuk bisa membedakan yang mana yang benar, yang mana yang salah.
seolah mati rasa terkadang aku bertindah 'pabila hati menumpahkan kabutnya tutupi perih yang tampak malu dan segan ungkapkan rasanya.
tubuh ini jadi seolah hanya wadah tak berguna dengan pikir yang punya kuasa.
saat pikir ini terpengaruh oleh mayoritas, tubuh ini tampaknya tak lagi jadi milikku, karena aku seolah digerakkan untuk puaskan kebringasan inginnya tubuh- tubuh lain di luar sana yang lebih kuasa dari aku yang hanya seonggok kecil tak berarti yang tampak bagai debu kecil atau sepi dalam bising. [rei]

untitled (5)

Jakarta, 2005

aku bukan seorang yang penuh ilmu untuk dibagikan,
maka aku tidak membuat buku pintar
atau ensiklopedia.

aku bukan seorang filsuf yang selalu bertindah dan mengisi hari dengan filososfi- filososfi berjuta makna,
karena itu aku tidak membuat kitab kumpulan filosofi.

aku bukan pujangga yang mampu rangkai kata- kata indah yang puitis nan melankolis,
karenanya aku tak buat puisi- puisi
atau soneta.

aku bukan seorang yang mengenal cinta dengan baik,
maka aku tak mengarang buku roman yang selalu mampu tampilkan cinta dari beragam sudut.

aku bukan composer, maka aku tidak gubah sebuah lagu.

aku bukan director, maka aku tak ciptakan sebuah film.

aku bukan penemu, maka aku tak hasilkan penemuan eksperimental.

aku bukan orang yang tau banyak hal.
hanya tau caraku jalani hidup
dan
mimpi.

m . i . m . p . i

aku ini pemimpi.
seorang pemimpi.
bermimpi buat ensiklopedia berisi pengetahuan omong kosong yang hanya diminati beberapa orang saja.
bermimpi buat kitab filosofi gila nan aneh, bergaya sok plato dan socrates.
bermimpi buat puisi- puisi puitis nan melankolis najis yang cengeng dengan bergaya sok kahlil gibran.
bermimpi buat kisah roman klasik-modern yang rasanya ngga masuk akal dan bodoh.
bermimpi berlagak sok beethoven sementara kebingungan mainin tangga nada C minor.
bermimpi berlagak steven spielberg sementara gemetar pegang kamera.
malah - malah bermimpi mampu seperti alfred nobel sementara nilai kimia selalu merah.

itu mimpi.
yang ngga mungkin,
jadi mungkin.
karena letak mimpi bukan hanya di otak,
bukan hanya dihati,
tapi di depan mata agar tak terlewat dan tak terlupa.
agar selalu dikejar selangkah demi selangkah untuk lebih dekat dengan impian itu. [rei]

untitled (4)

Jakarta, 2005

aku tidak bisa tidur.
banyak bayang kelam
masuk, terselip dalam kalbu.
racuni otak
rusak hati
kotori pikiran.

aku tidak bisa tidur,
malam ini.

mata berat hendak menutup
bagai sejuta ton baja menindih tubuh.
lelahnya.
tapi tetap tak dapat terlelap dalam taman mimpi.
malah terjaga semalaman.
harap supaya aku bisa tidur malam ini.

karena
aku
tidak
bisa
tidur
malam ini. [rei]

Friday, December 19, 2008

untitled (3)

Jakarta, 2005

keegoisan duniawi menekanku hingga ke pojok lobang bumi yang koak karena tempaan.
buatku ikut egois atas pengaruh kontrol maha dasyatnya yang tak terelakkan.
kuputar tubuh.
cari tangga naik -- kepermukaan lantai bumi.
keluarkan diri dari lobang egois bumi untuk coba enyahkan gaya egois di lobang egois tubuh sendiri. [rei]

untitled (1)

Jakarta, 2005

hari ini aku kembali duduk di tengah sini melihat berkeliling dengan mata liarku yang haus pandangan.
pagi ini yang kulihat adalah ketegangan yang hening. bahkan suara gesek kaki dan dehem pun tak berani keluar. sungkan tunjukan ke eksis annya.

sekarang. semua punggung yang semula tegak menghembus napas lega. kembali menunjukkan diri.
jangankan gesek kaki, tawa canda dan keakraban berdesakkan ingin keluar menunjukkan rasa.
berebut tempat disekelilngku yang tampak hidup, tapi tidak benar- benar hidup.
kali ini aku ikut ambil bagian. ramaikan suasana dengan menerbangkan berbagai rasa ke atas sana untuk ikut berdesakkan mendapatai tempatnya sendiri.

aku masih mengamati sekelilingku.
siang mulai menjelang. punggung disekelilingku mulai usaha tegakkan diri.
serangan kantuk maha dasyat menerpa. setiap kepala terkulai lemas coba tak hiraukan cuap- cuap di depan sana, lebih pilih kluntang-klantung kepala sambil coba kerahkan konsentrasi tapi akhirnya tetap gagal jua. [rei]
 
Header Image by Reigina Tjahaya